Sejarah Pacu Jalur, Sejak Abad ke-17 hingga Jadi Ikon Budaya Kuantan Singingi

12 Jul 20252 min readNo commentsbudaya
Featured image

Pacu Jalur adalah pesta rakyat yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.

Tradisi ini bukan sekadar perlombaan perahu biasa, tetapi merupakan warisan budaya yang telah ada sejak abad ke-17 dan terus dilestarikan hingga kini.

Jejak sejarahnya menyimpan kisah panjang tentang kehidupan masyarakat pesisir Sungai Kuantan.

Sejarah Pacu Jalur, dari transportasi ke tradisi

Pada abad ke-17, sebelum transportasi darat berkembang, masyarakat di sepanjang aliran Sungai Kuantan, mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan hingga Kecamatan Cerenti, mengandalkan jalur sebagai alat transportasi utama.

Jalur pada konteks ini bukan berarti “jalan”, melainkan perahu besar yang terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan, digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, bahkan dapat menampung 40 hingga 60 orang.

Seiring waktu, jalur mulai diberi sentuhan artistik. Muncul ukiran indah berbentuk kepala ular, buaya, atau harimau di bagian lambung dan selembayung jalur.

Ditambah dengan pernak-pernik seperti payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), dan lambai-lambai (tempat berdiri juru mudi), jalur menjadi lebih dari sekadar alat angkut, melainkan sebagai simbol status sosial.

Kala itu, hanya kalangan bangsawan, datuk, dan penguasa wilayah yang memiliki hak untuk menggunakan jalur berhias ini.

Lahirnya tradisi Pacu Jalur

Sekitar satu abad kemudian, masyarakat mulai melihat sisi lain dari jalur, yakni kecepatan dan ketangkasan mendayungnya.

Dari sinilah lahir tradisi Pacu Jalur, yakni lomba adu cepat antar jalur yang berlangsung di sungai.

Awalnya, pacu jalur diadakan untuk memeriahkan peringatan hari-hari besar Islam dan dilaksanakan antarkampung.

Namun seiring perjalanan sejarah, terutama sejak kemerdekaan, tradisi ini berubah menjadi agenda tahunan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pacu Jalur rutin digelar setiap bulan Agustus.

Pacu Jalur pada masa kolonial

Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur tetap dilestarikan, meskipun disesuaikan dengan kepentingan kolonial.

Perlombaan diadakan untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina, pada 31 Agustus.

Acara tersebut biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 hari, tergantung banyaknya peserta, dan tetap menjadi hiburan serta ajang silaturahmi masyarakat.

Pacu Jalur, festival budaya yang dinanti setiap tahun

Kini, Pacu Jalur menjadi agenda budaya tetap Pemerintah Provinsi Riau dan menjadi magnet wisata tahunan, baik dari wisatawan lokal maupun mancanegara.

Lebih dari 100 jalur bisa ikut serta dalam lomba ini, dengan masing-masing jalur diawaki oleh 45 hingga 60 orang pendayung yang disebut anak pacu.

Keberadaan coki atau anak tari di depan perahu membuat acara ini makin viral di media sosial dan dikenal masyarakat luas.

Ketika hari perlombaan tiba, kota Teluk Kuantan seolah berubah menjadi lautan manusia. Jalan-jalan penuh sesak, suara meriam penanda lomba menggema, sorakan penonton dan pemberi semangat menggetarkan suasana.

Pacu Jalur bukan hanya soal siapa yang paling cepat di sungai, tetapi juga tentang semangat gotong royong, warisan budaya, dan kebanggaan identitas masyarakat Kuantan Singingi.

Warna-warni kostum para pendayung, iringan musik tradisional, dan gemuruh semangat rakyat menjadikan Pacu Jalur sebagai salah satu festival budaya paling meriah dan autentik di Indonesia.

sumber: kompas.com

Nusavarta
Author: Nusavarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *