
KPK Soroti 12 Tambang Ilegal yang Ancam Lingkungan di Yogya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menertibkan tata kelola pertambangan di wilayahnya. Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah III KPK Ely Kusumastuti menuturkan hingga Juli 2025 terdapat 12 titik tambang ilegal mineral bukan logam dan batuan (MBLB) skala besar di DIY. Keberadaan tambang tersebut memiliki dampak kerusakan lingkungan dan infrastruktur yang sangat merugikan masyarakat dan pemerintah daerah.
“Ada 12 titik di seluruh wilayah provinsi DIY, di mana satu titik itu ada puluhan bahkan ratusan, bukan hanya pertambangan oleh rakyat tetapi oleh penambang-penambang besar yang sudah menggunakan mesin-mesin yang dampaknya sangat membahayakan,” ungkap Ely di sela rapat koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DIY di Yogyakarta, Rabu 30 Juli 2025.
Hanya saja, Ely tak merinci di mana titik tambang itu berada. Ia mengatakan jika titik tambang itu tersebar di semua kabupaten di DIY. Meliputi wilayah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul, serta beberapa di Kabupaten Bantul dan Sleman.
Ely mengatakan, pihaknya mendesak Pemda DIY mengatur perizinan tambang yang tertib untuk menjaga lingkungan, memperkuat pengawasan operasional tambah dan memastikan seluruh warga, terutama masyarakat kecil, mendapat manfaat adil dari potensi sumber daya alam di wilayah mereka.
“Perlu ada tata kelola pencegahan maupun penindakan dan penertibkan tata kelola pertambangan karena masih marak sekali, akibatnya kerusakan alam, lingkungan, infrastruktur, dan bahkan mengancam kesehatan,” kata dia.
Ely mengatakan, jika KPK akan turut mendampingi pemerintah daerah memperbaiki tata kelola sektor pertambangan, khususnya di zona tambang rakyat. Ia menegaskan KPK akan mendorong percepatan proses izin yang legal dan hal tersebut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan catatan prinsip tata kelola yang transparan dan akuntabel.
“KPK akan mendampingi, membantu, dan mendukung rekomendasi terkait dengan permohonan perizinan pertambangan. Ketika izin sudah terbit pasti akan menambah PAD retribusinya,” katanya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan dari hasil pertemuan dengan KPK itu, pihaknya akan memetakan kembali dan kemudian menentukan titik mana yang boleh ditambang beserta batas-batasnya dan lokasinya itu di mana.
“Kalau (titik tambang) itu sudah ditentukan, baru bisa dikapling bagaimana mereka itu bisa mendapatkan izin untuk menambang di tempat yang sudah ditentukan boleh untuk ditambang,” kata Sultan.
Sultan menyoroti dengan munculnya sejumlah penambang skala besar yang belakangan turut melakukan aktivitas penambangan secara dominan. Padahal sebelumnya, kata dia, kelompok besar ini tak muncul.
Ia mencontohkan, pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 silam, di kawasan lereng gunung yang melimpah material bekas erupsi, belum ada penambang besar yang ikut melakukan aktivitas penambahan dengan alat-alat berat.
“Saat itu yang ada hanya penambang kecil sehingga masyarakat masih bisa mendapatkan tambahan penghasilan,” kata dia.
Tak adanya kelompok penambang besar di kawasan lereng Merapi saat itu, kata Sultan, karena sudah ada kesepakatan dengan pemerintah daerah Kabupaten Sleman kala itu. Agar tak ada pengusaha besar yang turun menambang, melainkan memberikan akses penambangan untuk masyarakat terdampak erupsi terutama yang rumahnya hancur terkena erupsi.
Sultan mengatakan sebenarnya ia tak mempermasalahkan penambang besar ikut beraktivitas. Sepanjang mau bekerja sama dengan kelompok penambang kecil untuk bagi hasil. “Tapi kalau (titik tambang) itu sudah dikuasai kelompok penambang besar, yang penambang kecil itu tidak akan dapat bagian, di sini komitmen pemerintah daerahnya akan seperti apa, berpihak ke mana,” kata dia.
sumber: tempo.co