
Mengapa Trump Tergiur Tembaga RI
Mengapa Trump Tergiur Tembaga RI—dan Mengapa Tarif 50% Bisa Jadi Bumerang
Bloomberg – 18 Juli 2025 – Presiden AS Donald Trump mengklaim bahwa Amerika kini memiliki akses penuh terhadap sumber daya Indonesia, termasuk tembaga, tanpa bea masuk. Klaim ini muncul hanya beberapa hari setelah Trump mengumumkan tarif impor 50% untuk tembaga, yang mulai berlaku 1 Agustus, dengan alasan keamanan nasional dan dorongan produksi lokal.
Pengumuman ini langsung membuat harga tembaga melonjak 13% ke rekor US$ 5,69 per pon kenaikan satu hari terbesar sejak 1968, menurut FactSet.
Tembaga adalah logam vital bagi ekonomi AS: dari kabel listrik, chip semikonduktor, kendaraan, hingga peralatan militer. Namun, lebih dari 50% kebutuhan tembaga AS dipenuhi melalui impor, terutama dari Chili, Peru, dan Kanada. Kini, Indonesia menjadi sorotan baru, seiring manuver dagang global Trump.
Namun para analis memperingatkan, kebijakan tarif bisa menghambat industri manufaktur, memicu inflasi, dan tidak menjawab persoalan pasokan. “Tarif 50% itu seperti pajak besar untuk konsumen,” kata Ole Hansen dari Saxo Bank. “Harga tembaga dan barang turunannya akan ikut naik.”
Produksi tembaga AS pada tahun 2024 hanya mencapai 1,1 juta ton, kurang dari setengah konsumsi nasional*, dan *70% berasal dari Arizona*. Sebagai antisipasi, para pedagang Wall Street *menumpuk 400.000 ton tembaga* di awal 2025—setara dengan enam bulan pasokan cadangan, menurut Morgan Stanley.
Namun, stok ini hanya solusi sementara. Tanpa peningkatan produksi domestik, AS kemungkinan besar akan tetap tergantung pada impor dengan tarif 50%, yang bisa menaikkan harga konsumen dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
“Trump ingin kemandirian tembaga,” ujar Ewa Manthey dari ING. “Tapi tanpa produksi kuat, kebijakan ini bisa berbalik jadi bumerang lewat lonjakan inflasi dan beban industri.”